Perkembangan berlangsung melalui delapan tahap menurut Erikson.
Tahap yang berurutan itu tidak ditetapkan menurut jadwal kronologis yang ketat.
Erikson berpendapat bahwa setiap anak memiliki jadwal waktunya sendiri. Erikson
membagi tahap-tahap itu berdasarkan kualitas dasar ego pada masing-masing
tahap, antara lain:
1. Kepercayaan vs Kecurigaan
Kepercayaan dasar yang paling awal terbentuk
selama tahap sensorik oral yang ditunjukkan oleh bayi lewat kapasitasnya untuk
tidur dengan nyaman dan membuang kotoran dengan santai. Kebiasaan itu
berlangsung terus dalam kehidupan bayi dan merupakan dasar paling awal bagi
berkembangnya suatu identitas psikososial. Melalui pengalaman dengan orang
dewasa bayi belajar menggantungkan diri dan percaya pada mereka, tetapi mungkin
yang lebih penting, ia mempercayai dirinya sendiri. Kapasitas semacam itu harus
mengungguli lawan negatif dari kepercayaan dasar, yakni kecurigaan dasar.
Pengharapkan merupakan kebajikan paling awal
dan paling esensial yang melekat dalam hidup. Fondasi pengharapan pertama
terletak pada hubungan dengan orang tua yang memberikan pengalaman-pengalaman
seperti ketenangan, makanan, dan kehangatan. Pada saat yang sama, ia
mengembangkan kemampuan untuk membuang pengharapan yang dikecewakan dan
menemukan pengharapan dalam tujuan dan kemungkinan pada masa mendatang.
Menurut Erikson, pengharapan adalah keyakinan
yang bersifat menetap akan kemungkinan dicapainya hasrat-hasrat yang kuat.
Tahap pertama kehidupan ini merupakan tahap ritualisasi nurminous yaitu,
perasaan bayi akan kehadiran ibu, dalam hal ini pandangannya, sentuhannya, air
susunya, atau ‘pengakuan atas dirinya’.
2. Otonomi vs Perasaan
malu dan keragu-raguan
Anak harus didorong untuk mengalami
situasi-situasi yang menuntut otonomi dalam melakukan pilihan bebas. Rasa mampu
mengendalikan diri akan menimbulkan dalam diri anak rasa memiliki kemauan baik
dan bangga yang bersifat menetap. Sebaliknya rasa kehilangan kontrol diri dapat
menyebabkan perasaan malu dan ragu-ragu yang bersifat menetap. Nilai kemauan
muncul pada tahap kedua kehidupan ini. Anak belajar dari dirinya sendiri dan
dari orang. Kemauan menyebabkan anak secara bertahap mampu menerima peraturan
hukum dan kewajiban. Kemauan adalah kemampuan untuk membuat pilihan-pilihan
bebas, memutuskan, melatih, mengendalikan diri, bertindak yang terus meningkat.
Ritualisasi menyebut ritualisasi tahap ini
sifat bijaksana, karena anak mulai menilai dirinya sendiri dan orang lain serta
membedakan antara benar dan salah.
3. Inisiatif vs Kesalahan
Tahap psikososial ketiga adalah tahap inisiatif
yaitu suatu masa untuk memperluas penguasaan dan tanggung jawab. Selama tahap
ini anak menampilkan diri lebih maju dan lebih seimbang secara fisik maupun
kejiwaan. Tujuan adalah nilai yang menonjol pada tahap perkembangan ini.
Kegiatan utama anak dalam tahap ini adalah bermain, dan tujuan tumbuh dari
kegiatan bermainnya, eksplorasi, usaha, kegagalannya serta eksperimen dengan
alat permainannya.
Masa bermain ini bercirikan ritualisasi dramatik.
Anak secara aktif berpartisipasi dalam kegiatan bermain, memakai pakaian,
meniru kepribadian orang dewasa dan berpura-pura menjadi apa saja. Keterasingan
batin yang dapat timbul pada masa kanak-kanak ini ialah suatu perasaan
bersalah.
4. Kerajinan vs
Inferioritas
Pada tahap ini anak harus belajar mengontrol
imajinasinya yang sangat kaya, dan mulai menempuh pendidikan formal. Bahaya
dalam tahap ini ialah anak bisa mengembangkan perasaan rendah diri apabila ia
tidak berhasil menguasai tugas-tugas yang dipilihnya atau yang diberikan oleh
guru dan orangtua.
Nilai kompetensi muncul pada tahap kerajinan
ini. Rasa kompetensi dicapai dengan menerjunkan diri pada pekerjaan tugas, yang
pada akhirnya mengembangkan kecakapan. Usia sekolah merupakan tahap ritualisasi
formal, masa anak belajar bekerja secara metodis.
5. Identitas vs
Kekacauan identitas
Selama masa (adolesen), individu mulai
merasakan suatu perasaan tentang identitasnya sendiri, perasaan bahwa ia adalah
manusia unik, namun siap untuk memasuki suatu peranan yang berarti di tengah
masyarakat, entah peranan ini bersifat meyesuaikan diri atau bersifat
memperbaharui. Inilah masa dalam kehidupan ketika orang ingin menentukan
siapakah ia pada saat sekarang dan ingin menjadi apakah ia pada masa yang akan
datang.
Daya penggerak batin dalam rangka pembentukan
identitas ego dalam aspek-aspeknya yang sadar maupun tak sadar. Pada tahap ini
ego memiliki kapasitas untuk memilih dan mengintegrasikan bakat-bakat dan
keterampilan dalam melakukan identifikasi dengan orang yang sependapat, dalam
lingkungan sosial, serta menjaga pertahanannya terhadap berbagai ancaman dan
kecemasan. Semua ciri yang dipilih oleh ego ini dihimpun dan diintegrasikan
oleh ego serta membentuk identitas psikososial seseorang.
Peralihan yang sulit dari masa kanak-kanak ke
masa dewasa di satu pihak dan karena kepekaan terhadap perubahan sosial dan
historis di lain pihak, maka selama tahap pembentukan identitas seorang remaja,
mungkin merasakan penderitaan paling dalam dibandingkan pada masa-masa lain
akibat kekacauan peranan atau kekacauan identitas.
6. Keintiman vs Isolasi
Tahap dimana orang dewasa awal siap dan ingin
menyatukan identitasnya dengan orang lain. Agar memiliki arti sosial yang
bersifat menetap maka genitalitas membutuhkan seseorang untuk dicintai dan
diajak mengadakan hubungan seksual, dan dengan siapa seseorang dapat berbagi
rasa dalam suatu hubungan kepercayaan. Bahaya pada keintiman ini adalah
isolasi. Rituaisasi pada tahap ini adalah afiliatif yakni berbagi bersama dalam
pekerjaan, persahabatan, dan cinta.
7. Generativitas vs
Stagnasi
Ciri tahap ini adalah perhatian terhadap apa
yang dihasilkan, keturunan, produk, ide serta pembentukan dan penetapan
garis-garis pedoman untuk generasi mendatang. Apabila generativitas lemah atau
tidak diungkapkan maka kepribadian akan mundur dan mengalami stagnansi. Nilai
pemeliharaan berkembang dalam tahap ini. Ritualisasi dalam tahap ini ialah
sesuatu yang generasional, yakni ritualisasi peranan orang tua, produksi, pengajaran
dengan mana orang dewasa bertindak sebagai penerus nilai-nilai ideal kepada kaum
muda.
8. Integritas vs
Keputusasaan
Tahap terakhir dalam proses epigenetis
perkembangan yaitu disebut integritas. Integritas paling tepat dilukiskan
sebagai suatu keadaan yang dicapai seseorang setelah memelihara benda, produk,
ide, orang dan setelah berhasil menyesuaikan diri dengan keberhasilan dan
kegagalan dalam hidup.
Lawan integritas adalah keputusasaan tertentu
menghadapi perubahan siklus kehidupan individu, terhadap kondisi sosial dan
historis, belum lagi kefanaan hidup di hadapan kematian. Kebijaksanaan adalah
nilai yang berkembang dari hasil pertemuan antara integritas dan keputusasaan
dalam tahap kehidupan yang terakhir ini. Ritualisasi usia lanjut dapat disebut
integral, ini tercermin dalam kebijaksanaan segala zaman.
No comments:
Post a Comment