Monday, February 13, 2017

TEORI PSIKOSOSIAL MENURUT ERICK ERIKSON


Perkembangan berlangsung melalui delapan tahap menurut Erikson. Tahap yang berurutan itu tidak ditetapkan menurut jadwal kronologis yang ketat. Erikson berpendapat bahwa setiap anak memiliki jadwal waktunya sendiri. Erikson membagi tahap-tahap itu berdasarkan kualitas dasar ego pada masing-masing tahap, antara lain:

1.    Kepercayaan vs Kecurigaan
Kepercayaan dasar yang paling awal terbentuk selama tahap sensorik oral yang ditunjukkan oleh bayi lewat kapasitasnya untuk tidur dengan nyaman dan membuang kotoran dengan santai. Kebiasaan itu berlangsung terus dalam kehidupan bayi dan merupakan dasar paling awal bagi berkembangnya suatu identitas psikososial. Melalui pengalaman dengan orang dewasa bayi belajar menggantungkan diri dan percaya pada mereka, tetapi mungkin yang lebih penting, ia mempercayai dirinya sendiri. Kapasitas semacam itu harus mengungguli lawan negatif dari kepercayaan dasar, yakni kecurigaan dasar.
Pengharapkan merupakan kebajikan paling awal dan paling esensial yang melekat dalam hidup. Fondasi pengharapan pertama terletak pada hubungan dengan orang tua yang memberikan pengalaman-pengalaman seperti ketenangan, makanan, dan kehangatan. Pada saat yang sama, ia mengembangkan kemampuan untuk membuang pengharapan yang dikecewakan dan menemukan pengharapan dalam tujuan dan kemungkinan pada masa mendatang.
Menurut Erikson, pengharapan adalah keyakinan yang bersifat menetap akan kemungkinan dicapainya hasrat-hasrat yang kuat. Tahap pertama kehidupan ini merupakan tahap ritualisasi nurminous yaitu, perasaan bayi akan kehadiran ibu, dalam hal ini pandangannya, sentuhannya, air susunya, atau ‘pengakuan atas dirinya’.

2.    Otonomi vs Perasaan malu dan keragu-raguan
Anak harus didorong untuk mengalami situasi-situasi yang menuntut otonomi dalam melakukan pilihan bebas. Rasa mampu mengendalikan diri akan menimbulkan dalam diri anak rasa memiliki kemauan baik dan bangga yang bersifat menetap. Sebaliknya rasa kehilangan kontrol diri dapat menyebabkan perasaan malu dan ragu-ragu yang bersifat menetap. Nilai kemauan muncul pada tahap kedua kehidupan ini. Anak belajar dari dirinya sendiri dan dari orang. Kemauan menyebabkan anak secara bertahap mampu menerima peraturan hukum dan kewajiban. Kemauan adalah kemampuan untuk membuat pilihan-pilihan bebas, memutuskan, melatih, mengendalikan diri, bertindak yang terus meningkat.
Ritualisasi menyebut ritualisasi tahap ini sifat bijaksana, karena anak mulai menilai dirinya sendiri dan orang lain serta membedakan antara benar dan salah.

3.    Inisiatif vs Kesalahan
Tahap psikososial ketiga adalah tahap inisiatif yaitu suatu masa untuk memperluas penguasaan dan tanggung jawab. Selama tahap ini anak menampilkan diri lebih maju dan lebih seimbang secara fisik maupun kejiwaan. Tujuan adalah nilai yang menonjol pada tahap perkembangan ini. Kegiatan utama anak dalam tahap ini adalah bermain, dan tujuan tumbuh dari kegiatan bermainnya, eksplorasi, usaha, kegagalannya serta eksperimen dengan alat permainannya.
Masa bermain ini bercirikan ritualisasi dramatik. Anak secara aktif berpartisipasi dalam kegiatan bermain, memakai pakaian, meniru kepribadian orang dewasa dan berpura-pura menjadi apa saja. Keterasingan batin yang dapat timbul pada masa kanak-kanak ini ialah suatu perasaan bersalah.

4.    Kerajinan vs Inferioritas
Pada tahap ini anak harus belajar mengontrol imajinasinya yang sangat kaya, dan mulai menempuh pendidikan formal. Bahaya dalam tahap ini ialah anak bisa mengembangkan perasaan rendah diri apabila ia tidak berhasil menguasai tugas-tugas yang dipilihnya atau yang diberikan oleh guru dan orangtua.
Nilai kompetensi muncul pada tahap kerajinan ini. Rasa kompetensi dicapai dengan menerjunkan diri pada pekerjaan tugas, yang pada akhirnya mengembangkan kecakapan. Usia sekolah merupakan tahap ritualisasi formal, masa anak belajar bekerja secara metodis.

5.    Identitas vs Kekacauan identitas
Selama masa (adolesen), individu mulai merasakan suatu perasaan tentang identitasnya sendiri, perasaan bahwa ia adalah manusia unik, namun siap untuk memasuki suatu peranan yang berarti di tengah masyarakat, entah peranan ini bersifat meyesuaikan diri atau bersifat memperbaharui. Inilah masa dalam kehidupan ketika orang ingin menentukan siapakah ia pada saat sekarang dan ingin menjadi apakah ia pada masa yang akan datang.
Daya penggerak batin dalam rangka pembentukan identitas ego dalam aspek-aspeknya yang sadar maupun tak sadar. Pada tahap ini ego memiliki kapasitas untuk memilih dan mengintegrasikan bakat-bakat dan keterampilan dalam melakukan identifikasi dengan orang yang sependapat, dalam lingkungan sosial, serta menjaga pertahanannya terhadap berbagai ancaman dan kecemasan. Semua ciri yang dipilih oleh ego ini dihimpun dan diintegrasikan oleh ego serta membentuk identitas psikososial seseorang.
Peralihan yang sulit dari masa kanak-kanak ke masa dewasa di satu pihak dan karena kepekaan terhadap perubahan sosial dan historis di lain pihak, maka selama tahap pembentukan identitas seorang remaja, mungkin merasakan penderitaan paling dalam dibandingkan pada masa-masa lain akibat kekacauan peranan atau kekacauan identitas.

6.    Keintiman vs Isolasi
Tahap dimana orang dewasa awal siap dan ingin menyatukan identitasnya dengan orang lain. Agar memiliki arti sosial yang bersifat menetap maka genitalitas membutuhkan seseorang untuk dicintai dan diajak mengadakan hubungan seksual, dan dengan siapa seseorang dapat berbagi rasa dalam suatu hubungan kepercayaan. Bahaya pada keintiman ini adalah isolasi. Rituaisasi pada tahap ini adalah afiliatif yakni berbagi bersama dalam pekerjaan, persahabatan, dan cinta.

7.    Generativitas vs Stagnasi
Ciri tahap ini adalah perhatian terhadap apa yang dihasilkan, keturunan, produk, ide serta pembentukan dan penetapan garis-garis pedoman untuk generasi mendatang. Apabila generativitas lemah atau tidak diungkapkan maka kepribadian akan mundur dan mengalami stagnansi. Nilai pemeliharaan berkembang dalam tahap ini. Ritualisasi dalam tahap ini ialah sesuatu yang generasional, yakni ritualisasi peranan orang tua, produksi, pengajaran dengan mana orang dewasa bertindak sebagai penerus nilai-nilai ideal kepada kaum muda.

8.    Integritas vs Keputusasaan
Tahap terakhir dalam proses epigenetis perkembangan yaitu disebut integritas. Integritas paling tepat dilukiskan sebagai suatu keadaan yang dicapai seseorang setelah memelihara benda, produk, ide, orang dan setelah berhasil menyesuaikan diri dengan keberhasilan dan kegagalan dalam hidup.

Lawan integritas adalah keputusasaan tertentu menghadapi perubahan siklus kehidupan individu, terhadap kondisi sosial dan historis, belum lagi kefanaan hidup di hadapan kematian. Kebijaksanaan adalah nilai yang berkembang dari hasil pertemuan antara integritas dan keputusasaan dalam tahap kehidupan yang terakhir ini. Ritualisasi usia lanjut dapat disebut integral, ini tercermin dalam kebijaksanaan segala zaman.

No comments:

Post a Comment